Friday, August 16, 2013

Anak Indonesia Cenderung Pendek




Indonesia termasuk dalam lima negara yang memiliki jumlah anak pendek terbanyak di dunia. Negara lain yang memiliki banyak anak pendek adalah China, India, Pakistan, dan Banglades.

Hal itu dikemukakan Soekirman, Guru Besar Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor, di sela-sela acara Kongres Nutrisi Asia XI yang didukung oleh Danone, Kamis (14/7) di Singapura.



"Sebanyak 38,6 persen dari total anak balita di Indonesia memiliki tinggi badan tidak sesuai umur," kata Soekirman yang juga Ketua Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI). Artinya, sekitar empat dari 10 anak mengalami kekerdilan akibat kekurangan gizi, terutama zat besi.

Kekurangan gizi berdampak dalam kecerdasan anak. Kurangnya kecerdasan membuat anak tidak mampu meraih pendidikan tinggi sehingga produktivitas tidak maksimal. Penelitian tentang dampak kekerdilan, kecerdasan, dan produktivitas telah dilakukan di negara-negara Amerika Latin.

Untuk mengatasi persoalan kekurangan gizi itu, Indonesia melakukan program fortifikasi (penambahan) zat besi dan asam folat pada tepung terigu. Indonesia melalui KFI juga tengah mengkaji fortifikasi zat besi dan asam folat pada beras murah.

Kegemukan

Selain harus berjuang keras mengatasi masalah kurang gizi, Indonesia dan negara berkembang lainnya di Asia kini menghadapi tantangan baru, yaitu kecenderungan obesitas (kegemukan) pada masyarakat miskin.

Dalam Kongres Nutrisi Asia terungkap bahwa ada gejala peningkatan angka kegemukan pada masyarakat miskin di negara- negara berkembang. Menurut Berry Popkin, guru besar gizi dari Universitas North Carolina Amerika Serikat, saat ini di negara- negara berkembang, terutama di China, Brasil, India, juga Indonesia, terjadi transisi dari kurus ke kegemukan dan munculnya penyakit degeneratif.

Ia memprediksi pada negara yang rata-rata penduduknya berpenghasilan 2.500 dollar AS per tahun per orang terjadi kegemukan akibat perubahan pola konsumsi dan gaya hidup. Mereka yang mengalami kegemukan lebih banyak masyarakat miskin.

"Karena ingin bergaya hidup modern, mereka mulai mengonsumsi minuman atau makanan enak yang manis dan berlemak," kata Soekirman. Perubahan pola konsumsi terjadi karena teknologi pangan kini bisa memproduksi makanan enak dan murah. Gencarnya iklan produk makanan dan minuman di televisi ikut mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat miskin.

Pada kelompok masyarakat berpenghasilan lebih tinggi, jumlah kegemukan lebih sedikit karena kesadaran akan kesehatan semakin meningkat.

Prema Ramachandran dari Yayasan Nutrisi India mengatakan, data survei nutrisi di India menunjukkan, lima tahun terakhir mulai terjadi penurunan angka kekurangan gizi di India. Sebaliknya, dalam dua tahun terakhir terjadi kenaikan angka kegemukan di kalangan masyarakat miskin.